Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Reformasi Hukum Pidana: Dari Pembalasan ke Keadilan Restoratif dan Rehabilitatif

Reformasi hukum pidana di Indonesia memasuki babak baru dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. KUHP baru ini tidak hanya mengganti hukum pidana warisan kolonial, tetapi juga mengusung paradigma baru dalam pendekatan penegakan hukum, yakni pergeseran dari keadilan yang berorientasi pada pembalasan menuju keadilan yang bersifat korektif, restoratif, dan rehabilitatif.

Selama bertahun-tahun, sistem hukum pidana Indonesia berakar pada pendekatan retributif, yaitu pemidanaan yang didasarkan pada asas “pembalasan setimpal”. Dalam sistem ini, fokus utama adalah menghukum pelaku kejahatan sebagai bentuk ganjaran atas perbuatannya, tanpa mempertimbangkan pemulihan korban atau reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan seperti ini terbukti belum mampu menekan angka kejahatan secara signifikan, dan seringkali justru menyebabkan kepadatan di lembaga pemasyarakatan.

Melalui KUHP 2026, Indonesia berupaya mengadopsi pendekatan keadilan yang lebih manusiawi. Keadilan korektif bertujuan untuk memperbaiki perilaku pelaku dengan memberikan hukuman yang proporsional dan mendidik. Pendekatan ini lebih mendorong pelaku untuk menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya, alih-alih hanya menerima hukuman fisik atau pemenjaraan.

Sementara itu, keadilan restoratif berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Dalam pendekatan ini, pelaku kejahatan diberi kesempatan untuk meminta maaf secara langsung kepada korban, mengganti kerugian, dan membangun dialog sebagai bentuk tanggung jawab. Hal ini tidak hanya meringankan beban psikologis korban, tetapi juga memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri secara moral dan sosial.

Tak kalah penting, keadilan rehabilitatif diperkenalkan untuk membantu pelaku tertentu—seperti anak-anak, pecandu narkotika, atau penderita gangguan jiwa—agar dapat kembali ke masyarakat dengan kondisi yang lebih baik. Penjara tidak selalu menjadi solusi, dan dalam banyak kasus, rehabilitasi jauh lebih efektif dalam mencegah kejahatan berulang.

Implementasi ketiga pilar ini tentu tidak mudah. Diperlukan pelatihan menyeluruh bagi aparat penegak hukum, penyusunan peraturan pelaksana yang rinci, serta sosialisasi luas kepada masyarakat. Selain itu, tantangan budaya hukum juga menjadi hambatan. Masyarakat yang terbiasa dengan pendekatan hukuman keras perlu diedukasi bahwa keadilan bukan hanya soal balas dendam, tetapi juga tentang penyembuhan dan pencegahan.

Reformasi hukum pidana melalui KUHP 2026 adalah langkah besar menuju sistem hukum yang lebih berkeadilan dan berperikemanusiaan. Dengan pendekatan korektif, restoratif, dan rehabilitatif, hukum pidana tidak lagi sekadar menghukum, tetapi juga memperbaiki dan memulihkan. Indonesia kini bergerak menuju masa depan hukum yang lebih inklusif, adaptif, dan berpihak pada kemanusiaan.

Post a Comment for "Reformasi Hukum Pidana: Dari Pembalasan ke Keadilan Restoratif dan Rehabilitatif"