Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jenis-Jenis Hukuman dalam KUHP Baru: Lebih Manusiawi, Efektif, atau Lemah?

KUHP baru yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 membawa banyak perubahan signifikan dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Salah satu hal yang paling mencolok adalah pendekatan yang lebih manusiawi terhadap jenis-jenis hukuman atau sanksi pidana. KUHP baru tidak lagi semata-mata mengandalkan pidana penjara sebagai bentuk utama penghukuman, melainkan memperkenalkan beragam alternatif hukuman yang bertujuan untuk mencapai keadilan yang lebih menyeluruh—baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Dalam KUHP 2026, terdapat lima jenis pidana pokok, yaitu pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda. Selain itu, dikenal juga pidana tambahan seperti pencabutan hak tertentu, perampasan barang, dan pengumuman putusan. Setiap jenis pidana ini diatur untuk bisa disesuaikan dengan berat ringannya perbuatan pidana dan kondisi pelakunya.

Salah satu inovasi penting adalah pidana pengawasan, di mana pelaku tetap berada di lingkungan masyarakat tetapi wajib mengikuti aturan ketat seperti wajib lapor, mengikuti pembinaan, atau larangan bepergian. Hukuman ini dianggap lebih efektif bagi pelanggaran ringan dan mencegah overkapasitas lembaga pemasyarakatan.

Selain itu, KUHP baru juga memperkenalkan pidana kerja sosial. Pelaku diwajibkan melakukan pekerjaan sosial tanpa dibayar, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral terhadap masyarakat. Ini adalah bentuk hukuman yang tidak hanya memberi efek jera, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi lingkungan sosial. Misalnya, membersihkan fasilitas umum atau membantu kegiatan sosial kemasyarakatan.

Pidana denda dalam KUHP baru juga diperluas kategorinya. Denda tidak hanya dipandang sebagai hukuman tambahan, tetapi bisa menjadi hukuman utama dalam kasus tertentu. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam menjatuhkan sanksi tanpa harus mengurung seseorang.

Namun, pendekatan yang lebih lunak dan manusiawi ini juga menimbulkan kekhawatiran. Sebagian kalangan menilai bahwa sistem ini bisa dianggap terlalu ringan bagi pelaku kejahatan serius. Ada pula yang mempertanyakan efektivitas kerja sosial dan pengawasan dalam memberikan efek jera. Jika tidak didukung pengawasan ketat dan infrastruktur hukum yang memadai, maka bentuk-bentuk pidana alternatif ini bisa berisiko tidak terlaksana dengan maksimal.

Meski demikian, perlu disadari bahwa sistem hukum pidana bukan hanya soal balas dendam, tetapi juga soal pemulihan, pembinaan, dan pencegahan kejahatan di masa depan. Pendekatan dalam KUHP 2026 mencerminkan semangat keadilan restoratif, di mana pelaku tidak sekadar dihukum, tetapi diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan kembali berkontribusi di masyarakat.

Dengan demikian, pertanyaan apakah KUHP baru ini lebih manusiawi, efektif, atau justru lemah, tergantung pada cara implementasinya. Jika dijalankan dengan serius dan profesional, maka sistem ini bisa menjadi langkah besar menuju sistem hukum pidana yang lebih adil dan berorientasi pada masa depan. Sebaliknya, jika hanya menjadi simbol perubahan tanpa kesiapan aparat dan masyarakat, maka risiko lemahnya efek jera bisa menjadi kenyataan.

 

Post a Comment for "Jenis-Jenis Hukuman dalam KUHP Baru: Lebih Manusiawi, Efektif, atau Lemah?"