Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUHP Baru sebagai Bagian dari Reformasi Hukum Nasional: Progres atau Mundur?

Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menandai titik penting dalam sejarah hukum Indonesia. KUHP baru ini akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026, menggantikan KUHP lama warisan kolonial Belanda yang telah digunakan lebih dari satu abad. Sebagai bagian dari reformasi hukum nasional, KUHP baru diharapkan mencerminkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan perkembangan hukum modern. Namun, muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat dan akademisi: apakah KUHP baru ini merupakan langkah progresif, atau justru kemunduran dalam sistem hukum kita?

Dari sisi progresifitas, KUHP baru membawa sejumlah terobosan penting. Salah satunya adalah pengakuan terhadap keadilan restoratif dan rehabilitatif. KUHP ini membuka ruang penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi dan dialog antara pelaku dan korban. Selain itu, pidana alternatif seperti pidana kerja sosial dan pidana pengawasan mulai diakomodasi, menandai pergeseran dari penekanan pada pemenjaraan ke pendekatan yang lebih manusiawi dan edukatif.

KUHP baru juga berupaya untuk menjangkau realitas hukum yang hidup di masyarakat dengan mengakui hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan konstitusi. Ini merupakan pengakuan penting terhadap pluralitas hukum di Indonesia dan menjadi dasar harmonisasi antara hukum negara dan hukum masyarakat.

Namun demikian, tidak sedikit kritik yang menyebut bahwa KUHP baru justru mengandung potensi kemunduran, terutama dalam hal perlindungan hak asasi manusia. Beberapa pasal dianggap terlalu multitafsir dan membuka ruang kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Contohnya adalah pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, dan penyebaran informasi yang dapat menimbulkan keresahan publik. Kekhawatiran ini berangkat dari potensi pasal-pasal tersebut digunakan secara sewenang-wenang terhadap kelompok yang kritis terhadap pemerintah.

Selain itu, proses penyusunan KUHP baru dinilai belum sepenuhnya transparan dan partisipatif. Meski pemerintah mengklaim telah melakukan serangkaian diskusi publik, banyak kalangan merasa substansi pasal-pasal kontroversial tetap dipertahankan tanpa perubahan signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana reformasi ini benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.

Dari sudut pandang implementasi, tantangan juga tidak kecil. Diperlukan pelatihan intensif bagi aparat penegak hukum, sosialisasi luas ke masyarakat, dan sinkronisasi dengan peraturan lain. Tanpa kesiapan yang memadai, KUHP baru yang secara konsep ideal pun berisiko menimbulkan kebingungan dalam penerapannya di lapangan.

Pada akhirnya, apakah KUHP baru ini merupakan progres atau mundur sangat bergantung pada bagaimana proses implementasinya dijalankan. Jika dilakukan secara transparan, inklusif, dan konsisten dengan nilai-nilai keadilan, maka KUHP ini bisa menjadi tonggak penting reformasi hukum nasional. Namun jika dijalankan tanpa kontrol publik dan koreksi terbuka, ia bisa berubah menjadi alat yang justru membatasi kebebasan sipil dan keadilan substantif. Maka, peran masyarakat sipil, akademisi, dan media menjadi sangat penting untuk terus mengawal proses ini demi hukum yang adil dan demokratis.

Post a Comment for " KUHP Baru sebagai Bagian dari Reformasi Hukum Nasional: Progres atau Mundur?"