Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Evolusi Hukum Pidana Indonesia: Dari Warisan Kolonial ke Sistem Nasional Modern

Hukum pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dilepaskan dari masa kolonialisme Belanda. Sejak masa penjajahan, bangsa Indonesia mewarisi sistem hukum Eropa Kontinental melalui Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indiƫ, atau yang lebih dikenal sebagai KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Meski telah mengalami berbagai penyesuaian sejak kemerdekaan, substansi dari KUHP lama tetap berakar pada nilai-nilai kolonial, yang cenderung menekankan pada aspek pembalasan dan hukuman fisik.

Setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, Indonesia akhirnya mengambil langkah besar untuk meninggalkan warisan hukum kolonial tersebut. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, pemerintah resmi mengesahkan KUHP Nasional sebagai produk hukum pidana yang dirancang sendiri oleh bangsa Indonesia. KUHP baru ini dirancang dengan semangat reformasi hukum, mengedepankan keadilan yang lebih holistik, dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, memberi waktu tiga tahun masa transisi untuk sosialisasi dan penyusunan peraturan pelaksana.

Salah satu perbedaan mendasar antara KUHP lama dan yang baru adalah paradigma hukum pidana yang dianut. Jika sebelumnya penegakan hukum lebih berorientasi pada retribusi atau pembalasan, maka KUHP 2026 mengusung pendekatan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Pendekatan ini berusaha tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan kerugian korban, membina pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya, serta menjaga harmoni sosial.

Evolusi ini juga tampak dari pengakuan terhadap hukum adat dan nilai-nilai lokal dalam KUHP baru. Dalam beberapa ketentuan, hukum yang hidup di masyarakat (living law) bisa dijadikan dasar pertimbangan hakim, selama tidak bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Hal ini mencerminkan semangat pluralisme hukum dan keinginan untuk menjadikan hukum pidana lebih kontekstual dengan realitas sosial Indonesia.

Tak hanya dari segi substansi, bentuk pidana juga mengalami perubahan. KUHP baru memperkenalkan pidana alternatif seperti kerja sosial, pidana pengawasan, serta restitusi kepada korban. Langkah ini sejalan dengan upaya mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan dan memberikan keadilan yang lebih bermakna, terutama bagi pelaku tindak pidana ringan.

Namun, peralihan dari sistem kolonial ke sistem nasional tidak serta-merta tanpa tantangan. Kesiapan aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, dan pengacara menjadi hal krusial. Mereka dituntut untuk memahami secara mendalam isi KUHP baru agar tidak salah dalam menerapkannya. Di sisi lain, masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi hukum agar mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma baru yang akan berlaku.

Evolusi hukum pidana ini bukan hanya sebuah perubahan teknis, tetapi mencerminkan transformasi sosial dan politik bangsa Indonesia. Dengan meninggalkan warisan kolonial dan menyusun hukum sendiri yang lebih berkeadilan dan manusiawi, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam membangun sistem hukum nasional yang merdeka, progresif, dan relevan dengan jati diri bangsa. KUHP 2026 menjadi simbol kedaulatan hukum dan harapan menuju tatanan hukum pidana yang lebih adil di masa depan.

Post a Comment for "Evolusi Hukum Pidana Indonesia: Dari Warisan Kolonial ke Sistem Nasional Modern"