KUHP 2026: Tonggak Baru Hukum Pidana Nasional yang Lebih Berkeadilan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2026 merupakan momen bersejarah dalam sistem
hukum Indonesia. Setelah lebih dari satu abad menggunakan KUHP warisan kolonial
Belanda (Wetboek van Strafrecht), Indonesia akhirnya memiliki KUHP Nasional
yang disusun berdasarkan nilai-nilai lokal, prinsip Hak Asasi Manusia, dan
perkembangan hukum modern. KUHP ini disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2023 dan akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
KUHP 2026
bukan hanya mengganti pasal-pasal lama, tetapi mengusung perubahan paradigma
hukum pidana yang sangat fundamental. Selama ini, hukum pidana di Indonesia
cenderung bersifat retributif, yaitu menitikberatkan pada pembalasan terhadap
pelaku kejahatan. Namun, melalui KUHP baru, pendekatannya bergeser ke arah korektif,
restoratif, dan rehabilitatif. Ini berarti fokus hukum tidak hanya pada
pelaku, tetapi juga pada korban, masyarakat, dan masa depan hubungan sosial
yang lebih baik.
Keadilan
korektif dalam KUHP 2026 terlihat dari penyusunan pidana yang lebih proporsional
dan manusiawi. Sementara itu, keadilan restoratif mendorong penyelesaian
perkara dengan mempertemukan pelaku dan korban, memberikan ruang untuk
permintaan maaf, ganti rugi, serta pemulihan psikologis. Di sisi lain, keadilan
rehabilitatif membuka peluang bagi pelaku, terutama anak dan pengguna
narkotika, untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif melalui
pembinaan, bukan hanya pemenjaraan.
Salah
satu poin penting dalam KUHP 2026 adalah pengakuan terhadap hukum adat atau
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Selama tidak bertentangan
dengan konstitusi dan prinsip HAM, hukum adat dapat dijadikan dasar dalam
penegakan hukum. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap keragaman
budaya Indonesia dan upaya menjadikan hukum lebih kontekstual dan berkeadilan
sosial.
Namun,
implementasi KUHP 2026 bukan tanpa tantangan. Pemerintah melalui Kementerian
Hukum dan HAM serta Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) harus memastikan
bahwa aparat penegak hukum—hakim, jaksa, polisi—memahami dan siap menerapkan
prinsip-prinsip baru ini. Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan pemahaman
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan pasal-pasal tertentu yang
dianggap kontroversial, seperti pasal penghinaan terhadap presiden atau aturan
moralitas.
Sosialisasi
yang masif, pelatihan teknis bagi aparat, penyusunan peraturan pelaksana,
hingga keterlibatan akademisi dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci
keberhasilan penerapan KUHP ini. Tanpa sinergi semua pihak, semangat perubahan
yang dibawa KUHP 2026 bisa saja gagal mencapai tujuannya.
Dengan
KUHP 2026, Indonesia tidak hanya menunjukkan kemandiriannya dalam membentuk
sistem hukum pidana nasional, tetapi juga menunjukkan komitmennya untuk
mewujudkan keadilan yang lebih manusiawi, relevan, dan inklusif. Ini adalah
langkah penting dalam membangun peradaban hukum yang mencerminkan wajah sejati
bangsa Indonesia.
Post a Comment for "KUHP 2026: Tonggak Baru Hukum Pidana Nasional yang Lebih Berkeadilan"